Ehem..
Saat ini mau nullis serius tentang fenomena Instagram sebagai urban lifestyle yang udah menjamur bagaikan blowjob praktis untuk embargo dan sosialisasi dengan ekesistensi terhadap karya seni yang dihasilkan seniman urban.
Okay, let's start !
Yak. Melihat sorotan terhadap fenomena sosial
yang saat ini sebagian besar publik bergantung dengan status yang menampakkan
kasta eksistensi di media sosial perlu dikaji sehubungan dengan dinamika
globalisasi yang berlangsung saat ini. Media sosial yang dirancang untuk
bertindak sebagai wadah komunikasi kini tidak hanya menjadi sekedar alat untuk
berkomunikasi dengan saudar ataupun kerabat yang tinggal di daerah yang jauh.
Media sosial saat ini hampir menjadi sebuah dunia primer bagi remaja yang
tumbuh di era informatika. Seakan dunia nyata hanyalah tempat untuk menampakkan
diri secara sublim. Apabila belum bergaya dan diakui dengan aksi simbolis
berupa ‘likes’ maka sesorang belum dinyatakan ada.
Internet yang pada tahun 2000an
dikaji oleh Sassi dalam Ibrahim (p.98: 2011) mengungkapkan bahwa internet
merupakan sebuah jembatan yang mempersilahkan masyarakat memasuki dunia maya
secara aktif dan diharapkan mampu berkolaborasi dan menjadikan masyarakat dapat
terikat secara idealis politik. Saat gerbang internet diluncurkan kedalam
masyarakat yang saat itu tengah terpesona oleh kehadiran dunia maya yang
dihadirkan melalui siaran TV memunculkan sebuah fenomena keberadaan cyberspace.
Masyarakat perlahan mulai menganalisa fitur-fitur dalam internet dan berusaha
memaksa diri untuk menjadi bagian dari sebuah perhelatan internet. Cyberspace
ini kemudian menjamur di masyarakat dan terus mengalami perkembangan yang
relevan sesuai dengan mobilitas era yang berlangsung.
Fenomena cyberspace terus meluas
dengan kemudahan untuk mengakses dunia maya menjadi lebih mudah karena ia
berada di genggaman tangan tiap orang. Smartphone yang menyediakan layanan instan
untuk memasuki dunia maya kini sudah dimiliki hampir diseluruh manusia di
dunia. Dengan kemudahan jangkauannya, internet kemudian menjadi salah satu
kebutuhan pokok bagi manusia yang tumbuh di era informatika. Kebutuhan akan
akses internet secara gratis kemudian menjadi hal yang paling diburu. Manusia
menjadi butuh akan informasi terkini yang relevan dengan kehidupannya ataupun
tidak relevan.
Kemudahan akses upload-download
menjadikan fenomena-fenomena baru yang mengiringi kemeriahan globalization movement
seperti: 1) Selfie (potret diri) yang merujuk pada dunia fashion dengan
fenomena #OOTD (Outfit Of The Day) sebuah kegiatan memadupadankan
baju dengan gaya foto yang unik atau cantik. Selain itu terdapat pergerakan
lain yakni 2) Artists on Instagram seseorang yang mengupload karya seninya dari
mulai fotografi seperti fenomena foodgrapher (fotografi makanan), atau
ilustrasi-ilustrasi yang sering kali bersikap aplikatif untuk diterapkan
sebagai bagian dari fashion. Sebuah pergerakan ini kemudian memunculkan
fenomena yang seakan menarik masyarakat muda untuk terjun menjadi bagian dari
sebuah realitas semu.
Hubungan manusia di dunia nyata
kemudian bergabung seara perlahan dengan dunia maya. Manusia di era saat ini
menjadi kalang kabut mencari pengakuan di dunia maya. Saat mereka kemudian
diakui eksistensi dan karyanya di dunia maya maka secara otomatis orang
kemudian akan menggunakan talenta yang dimilikinya untuk menampakkan diri di
dunia nyata. Sebuah aksi mutualisme silang yang digunakan untuk memperoleh
pengakuan. Beragam interaksi antar manusia yang
saling berkenalan satu dengan yang lain saat ini sudah mulai menyangkutkan
alamat media sosial yang dimiliki. Semisal dalam percakapan perkenalan seperti:
“hey, kenalkan ini temanku bernama X kebetulan dia seniman yang beken di
instagram, coba cek di instagram @X”. Bukan tidak mungkin kita tidak pernah
mendengar sebuah percakapan seperti ini. Karenanya saat ini sepertinya terdapat
jalan pintas untuk menjadi familiar di kalangan masyarakat umum, terutama bagi
seorang perupa urban yang berkarya dengan basis tema kekinian.
Kehadiran instagram sebagai media
sosial dengan desain sederhana, fitur yang simpel, dengan penggunaan yang
ringan terhadap smartphone, serta kelebihannya menjangkau issue secara luas
menjadikannya sebagai fitur sosial media yang paling digemari oleh kaum urban.
Fenomena ini menjadi penting dan signifikan untuk ditelisik lebih jauh, kerena
sebuah keadaan yang memberikan beragam informasi secara banyak dan berlebihan
akan menimbulkan dampak communicative abundance atau keberlimpahan
komunikasi seperti yang diungkapkan John Keane dalam Ibrahim (p.10: 2011).
Komunikasi yang tidak terbatas ini kemudian menyisir sebagian eksistensi
sosialisme hubungan manusia dengan sekitarnya. Namun tak dapat diayal juga
bahwa apabila seorang pengguna media sosial dapat melejitkan diri melalui
subsidi silang eksistensi yang difasilitasi oleh internet.
Kehadiran sebuah inovasi membawa
dampak positif dan negatif. Instagram salah satunya merupakan sebuah wadah bagi para pencari
informasi, pencari eksistensi dan instagram sangat ramai dengan kehadiran
seniman-seniman yang mencari eksistensi melalui instagram sebagai media
pengembangan dirinya. Sebuah siklus yang terus menerus berputar secara
berkesinambungan dalam era saat in melejitkan berbagai seniman dari instagram
melalui kumpulan komunitas yang dulunya diluncurkan di dunia nyata.
Saat ini instagram bukan hanya
sebagai media untuk mencari informasi tapi juga digunakan oleh seniman muda
urban untuk menggotong dirinya sendiri menjadi bagian dari informasi tersebut.
Setiap harinya seorang seniman yang menggunakan instagram sebagai media untuk
memberitahukan khalayak bahwa seniman tersebut ada selalu berlaku dalam siklus take
photos and upload secara sadar maupun tidak sadar.
Tulisan ini masih menggunakan kajian pustaka yang saya buat untuk mempartikelir dan menyusun fenomena masyarakat urban yang seringkali bekerja secara instan. namun fenomena didalamnya merupakan panduan untuk memperhatikan perubahan kebudayaan dengan terbukanya gerbang internet dalam masa teknologi instan saat ini. yea.
referensi:
Chaney, David. 1996. Lifestyle,
Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Subandy. 2011. Kritik
Budaya Komunikasi: Budaya Media dan Gaya Hidup dalam Proses
Demokratisasi di
Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Kleon, Austin. 2014. Show Your Work:
10 Ways to Share Your Creativity and Get Discovered. Jakarta: Mizan Media
Utama.