Jumat, 20 November 2015

R E L A T I V E (S)



Understanding an art of any artwork could not get closer without separate the artist’s statement or any handwriting about their works. In the latest observed in various fields the operation to understanding artwork has been seen about the outside and not even trying to understanding the mental character of artist by knowing their life background. The main idea of this paper is based on what Bettina Reiber write about psyche and the art of an artists. The concept of ideal image that can be constructed by philosophical of understanding the mentally against the artist. To relief any artwork and make it tell their own story itself could be connect by any other dots from the trinity of art such a: 1) feel about the artwork, 2) compare beyond artist’s statement, 3) analyze the composition. By recruit those dots into a one simultaneous link the feeling about the artwork could be apear itself showing the power itself, but to make it stronger it has to compare with the artist’s background.

I believe that in chaos of color it would be necessary to understand why the artists make an artwork such as
that type of a kind. it could be movies, paints, poems, sculp, any other nu media and so on.
I believe that the relatives in it is more important after understand the beneath of its components.

Rabu, 18 November 2015

Book Review "Menelanjangi Globalisasi"



(tokobukuburuhmembaca.blogspot.com)
Buku ini menggaris bawahi peranan-peranan yang muncul dalam era globalisasi dengan melakukan penjabaran globalisasi dari mulai dampak, pengaruh, dan kubu-kubu yang berseteru itu sendiri, dengan menggunakan kata kunci: globalisasi, imperialisme, dan kapitalisme. Pendapat-pendapat didalam buku ini dikelompokkan menjadi dua garis besar perspektif secara ilmiah dan teoritis. Penjabaran materi, isu, dan paradigma pemberontak tersusun dalam 11 bab. Globalisasi, imperialisme dan kapitalis menjadi 3 benda yang harus dicari korelasinya untuk menemukan kedudukan antara ketiga pihak melalui berbagai perspektif sehingga kumpulan perspektif yang ada akan memicu penganalisisan sistem kapitalis secara struktural. Dimana nantinya serangkaian sistem ini akan mampu membuat penjara ‘maya’ yang mampu dengan seolah-olah memasang secara paksa sebuah ‘chip patuh’ yang berisi data-data program mengenai sistem kapitalis yang mau tidak mau terpasang pada tiap individu. Tentunya kehadiran sistem ini menghadirkan kontradiksi berupa kekuatan oposisi dan resistansi yang berlawanan dengan realitas globalisasi. Kehadiran ‘chip patuh’ untuk dipasang kedalam setiap diri individu secara tidak sengaja disetujui oleh individu karena para pemegang modal yang mengaku memiliki kekuatan untuk mengendalikan itu mengusung nama besar ‘pembangunan’ dan ‘kerja-sama’ yang dirangkai dengan struktur kalimat harapan ‘kerjasama untuk pembangunan’ yang menggelitik untuk dikaji sebagai politik bahasa dari bahasa politik yang nampak seperti saudara kembar yng tinggal dalam satu rumah. Kehadiran politik bahasa yang muncul sebagai salah satu bias dari fenomena globalisasi adalah adanya pengaburan politik dengan menggunakan bahasa untuk menimbulkan citra positif atas realitas-realitas yang buruk, dan hal ini terjadi di banyak tempat seperti:  transisi kapitalisme di bekas Uni Sovyet, penjarahan ekonomi Rusia oleh investor-investor asing yang mengakibatkan katastrofis namun disamarkan dengan politik bahasa sebagai ‘reformasi ekonomi’.
Fenomena yang terjadi tersebut kemudian memunculkan pertanyaan dalam hal kerja sama dan pembangunan seperti: 1) kerja sama untuk apa? Dengan siapa, dan dalam kondisi bagaimana?, 2) Pembangunan yang dikaji mengenai siapa mendapat apa, dimana, dan bagaimana?, kedua kubu pertanyaan ini digunakan sebagai alat untuk mencari keadilan yang sebenarnya keadilan hadir sebagai ‘kebebasan berdagang’ kelas-kelas yang dominan. Jadi, adilkah ini dimata kaum proletar?. Dalam bidang peng-kerja sama-an dalam globalisasi tidak merepresentasikan bantuan keuangan untuk mengubah struktur-struktur yang ketinggalan zaman dan eksploitatif (222) namun berkaitan dengan adanya keuntungan dari hasil tanam ivestasi yang berupa keuntungan dari perjanjian kerja sama dengan perusahaan-perusahaan transnasional dari negara donor. Pembangunan dipahami sebagai pertumbuhan ekspor (223) yang ditumbuhkan oleh industri. Pertumbuhan ekspor ini dibeli oleh industri dengan menggunakan ‘biaya sosial’ dari ‘kemajuan pembangunan’ yang berupa kebangkrutan kaum petani yang disebabkan oleh impor dan konsentrasi tanah (223). Nilai keadilan yang dimengerti dalam era global ini melalui pandangan alternatif adalah keadilan sebatas gaji atau upah bagi para buruh, bukan investasi berupa penggemburan tanah ataupun peningkatan produksi makanan berkualitas yang mampu merangsang kaum miskin urban untuk memiliki nilai gizi yang layak demi keberlangsungan hidup kedepannya.
Suguhan tabir isu global yang seakan menarik pemahaman mengenai globalisasi yang semula dipahami sebagai arus perubahan mengenai inovasi terbaru yang bermanfaat bagi kehidupan, dipandang sebagai arus yang menguntungkan, memudahkan akses dan menyamarkan jarak. Dengan sekali tempo globalisasi disetujui oleh banyak pihak karena fasilitas-fasilitas yang muncul dalam era ini, tapi sadarkah kita bahwa globalisasi sebenarnya adalah proyek pengembangan dari modernisme yang berusaha melupakan protes postmodernisme. Globalisasi muncul untuk memudahkan pasar kapital yang mengatur arus perdagangan dunia dengan menggunakan tubuh berupa ‘proyek-proyek pengembangan kapitalisme’ dengan tangan-tangan berupa modernisasi, industrialisasi, kolonialisme, dan pembangunan. Reformasi ekonomi dielu-elukan untuk merangkul masyarakat dari berbagai kalangan agar mereka mau bekerja sama demi kemajuan pembangunan bersama. Karena politik bahasa inilah masyarakat menjadi limbung dan melepaskan prinsip-prinsip investasi lahan karena sudah termakan bujuk rayu dari politik bahasa yakni reformasi ekonomi yang tidak sesuai dengan makna tradisionalnya secara umum yakni redistribusi pendapatan dan peningkatan kesejahteraan umum. Reformasi ekonomi muncul sebagai hasil pengkaburan kapitalisme melalui eufisme-eufisme dan konsep-konsep yang hanya sedikit berkaitan dengan realitas sosial dan politik yang mereka diskusikan.
Globalisasi, era dimana segala hal menjadi satu, melebur kedalam persamarataan yang menyembunyikan realitas negatif dengan tirai keadilan yang diusung dalam konsep kerjasama untuk pembangunan, membicarakan fenomena pasar saham bagi kaum elite dengan menipu kaum buruh menggunakan keadilan yang semu berupa gaji yang lebih besar dari sebelumnya namun tidak diberikan pemahaman mengenai investasi dalam bidang yang mereka kuasai. Globalisasi merupakan era dimana satu individu secara bebas terkunci dalam ciptaan inovasi dari kaumnya sendiri. Era dimana industri berbicara dengan menggunakan politik bahasa untuk menyamarkan sisi kenegatifan dari sebuah fenomena dengan dalih sisi positif dari sebuah temuan yang populer di era global yakni ‘net’ atau jaringan. Internet merupakan temuan yang terus dikembangkan semenjak ditemukan. Menurut penggalan katanya bila dikaitkan dengan realitas sosial diadaptasi dari kamus bahasa inggris; inter berarti mengebumikan atau menguburkan dan net adalah jaringan atau biasa diartikan secara umum sebagai ‘jala’, jadi secara keseluruhan inter-net dapat dikaitkan dengan pemahaman pengebumian jala, yang kemudian di turunkan maknanya menjadi penanaman jaringan kedalam otak yang dewasa ini kemudian menjadikan generasi kita tak bisa lepas dari inter-net. Inter-net dianggap sebagai dewa, dielu-elukan sebagai benda yang mengetahui segala macam hal, yang kemudian tak heran jika seringkali remaja melakukan protes terhadap sistem pengajaran dalam sekolah dengan mengemukakan candaan dalam pembicaraan “ah gampang, cari aja di internet pasti muncul”.
Globalisasi muncul untuk menyamarkan bentuk, nilai, dan pada akhirnya untuk menciptakan manusia patuh terhadap sistem, namun kemunculan globalisasi ini memiliki kekurangan yang akhirnya menimbulkan kebebasan bagi kritikus yang memiliki peran sebagai pengguna era global. Munculnya pasar bebas adalah dampak dari kesemuan produk globalisasi dimana segala hal itu dapat memilki makna tersamar jika tidak ada pemikiran kritis yang lebih lanjut. Dengan adanya cyberspace dimana korban dari era globalisasi ini otak remaja dijajah, dijarah, dijaring perlahan dengan diberi kenyamanan untuk duduk dan dihipnotis dengan kefanaan yang muncul dalam dunia maya yang celakanya mereka terlalu nyaman dengan kemudahan-kemudahan itu sehingga tidak dapat menggunakannya sebagai lecutan untuk berfikir kritis dan kreatif.
Sebuah era tentunya memiliki dua kubu yang mewarnai pegejolakan sebuah fenomena era. Dua kubu ini hadir sebagai kubu kiri yang mulai sadar akan monopoli kapitalis namun karena keterbatasan peralatan serang dan hanya bermodalkan demo untuk mengusut keadilan yang mereka harapkan maka kubu kanan yang merasa memiliki kekuatan kemudian melaksanakan sebuah strategi yang dengan terpaksa menggunakan metode kekerasan saat dalam keadaan terjepit seperti ancaman akan kehilangan kekuasaan. Kubu kanan akan terus menerus memperalat kubu kiri agar menjadi patuh kepada aturan mereka dengan menggunakan strategi pemilu sebagai drama mengenai pemilihan seorang pemimpin yang digambarkan sesuai dengan impian masyarakat di kubu kiri, namun sebenarnya tidak. Pemilu  di era globalisasi hanya sebagai alat untuk “mengatur makroekonomi dengan dekrit-dekrit eksklusif yang berkolaborasi dengan para penasihat internasional yang tidak terpilih, dan mempenetrasi mikroekonomi komunitas-komunitas miskin dengan para fungsionaris kemiskinan dan organisasi-organisasi non-pemerintahan yang didanai oleh swasta”, pengendalian drama ini diatur dengan bukti adanya fenomena ‘pembelian suara’ saat hari-hari kampanye menjelang pemilu.
Kesimpulan dari buku ini berawal dari pertanyaan apakah dimungkinkan adanya gerakan menghindari tirani globalisme, dengan apa? Jawabnya adalah Ya, langkahnya adalah dengan menggunakan pendekatan perspektif bahwa negara adalah sebuah blok ‘bangunan kerajaan global’ kita dapat menghindar dari penjara cara berpikir globalis dan memasuki wilayah aksi politik dan sosial.
Kontradiksi yang muncul bersahut-sahutan ini memunculkan ide untuk menutup review dengan pertanyaan dimana pertanyaan ini nantinya adalah sebagai kewajiban saya mencari kebenaran dari hipotesa dalam pertanyaan saya sendiri. Pertanyaan itu adalah: apakah sebenarnya para keturunan dari darah bangsawan penjajah yang dulunya menjajah daerah dengan menggunakan kapal kemudian berlabuh, pada era sekarang ini melalui teknologi penjajah melakukan penjajahan otak dengan menyebar jaring-jaring maya keseluruh dunia agar kedepannya mereka selain dapat menguasai pasar juga dapat menguasai stabilitas pemikiran manusia dengan penanaman ‘chip patuh’ demi pemenuhan ekonomi yang dengan mudah dibeli oleh kubu kanan?.

Arti kata menurut aplikasi KBBI Yufid (Departemen Pendidikan Nasional Indonesia) di android:
Globalisasi : proses masuknya ke ruang lingkup dunia 
Imperialisme : Sistem politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar
Kapitalisme : Sistem dan paham ekonomi yang modal kegiatan perindustriannya bersumber pada modal pribadi atau swasta
Revolusi : Perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan (perlawanan bersenjata)
Kolonialisme: Paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.